Jumat, 15 Agustus 2008

KEBIJAKAN DLM PENATAGUNAAN TANAH

1. Catur Tertib Pertanahan
Tanah merupakan sarana untuk melaksanakan pembangunan. Kedudukan tanah yang penting ini kadang tidak diimbangi dengan usaha untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timgul dalam bidang pertanahan. Fakta memperlihatkan bahwa keresahan di bidang pertanahan mendatangkan dampak negatif di bidang sosial, politik dan ekonomi.

Untuk itu berdasarkan Tap MPR No. IV/MPR/1978 ditentukan agar pembangunan di bidang pertanahan diarahkan untuk menata kembali penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah. Atas dasar Tap MPR No. IV/MPR/1978, Presiden mengeluarkan kebijaksanaan bidang pertanahan yang dikenal dengan Catur Tertib Bidang Pertanahan sebagaimana dimuat dalam Keppres No. 7 Tahun 1979, meliputi:
a. Tertib Hukum Pertanahan
Diarahkan pada program:
1)Meningkatkan tingkat kesadaran hukum masyarakat.
2)Melengkapi peraturan perundangan di bidang pertanahan.
3)Menjatuhkan sanksi tegas terhadap pelanggaran yang terjadi.
4)Meningkatkan pengawasan dan koordinasi dalam pelaksanaan hukum agraria.
b. Tertib Administrasi Pertanahan
Diarahkan pada program:
1)Mempercepat proses pelayanan yang menyangkut urusan pertanahan.
2)Menyediakan peta dan data penggunaan tanah, keadaan sosial ekonomi masyarakat sebagai bahan dalam penyusunan perencanaan penggunaan tanah bagi kegiatan-kegiatan pembangunan.
Penyusunan data dan daftar pemilik tanah, tanah-tanah kelebihan batas maksimum, tanah-tanah absente dan tanah-tanah negara.
3)Menyempurnakan daftar-daftar kegiatan baik di Kantor Agraria maupun di kantor PPAT.
4)Mengusahakan pengukuran tanah dalam rangka pensertifikatan hak atas tanah.
c. Tertib Penggunaan Tanah
Diarahkan pada usaha untuk:
1)Menumbuhkan pengertian mengenai arti pentingnya penggunaan tanah secara berencana dan sesuai dengan kemampuan tanah.
2)Menyusun rencana penggunaan tanah baik tingkat nasional maupun tingkat daerah.
3)Menyusun petunjuk-petunjuk teknis tentang peruntukan dan penggunaan tanah.
4)Melakukan survey sebagai bahan pembuatan peta penggunaan tanah, peta kemampuan dan peta daerah-daerah kritis.
d. Tertib Pemeliharaan Tanah Dan Lingkungan Hidup
Diarahkan pada usaha:
1)Menyadarkan masyarakat bahwa pemeliharaan tanah merupakan kewajiban setiap pemegang hak atas tanah.
2)Kewajiban memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban setiap orang, badan hukum, atau isntansi yang mempunyai suatu hubungan dengan tanah.
3)Memberikan fatwa tata guna tanah dalam setiap permohonan hak atas tanah dan perubahan penggunaan tanah.

Pertimbangan dari segi tata guna tanah, antara lain menjawab:
Apakah pemberian hak atas tanah kepada pemohon itu sesuai dengan rencana tata guna tanah yang sudah ada ?
Apakah penggunaan tanah sebagai yang dimaksud pemohon sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuan tanah yang bersangkutan ?
Apakah tidak perlu diadakan syarat-syarat khusus mengenai pemeliharaan kesuburan dan pengawetan tanah yang bersangkutan ?
Melakukan analisa dampak lingkungan (ANDAL) sebelum suatu usaha industri/pabrik didirikan.
Melakukan pemantauan terhadap penggunaan tanah.
Yang erat kaitannya dengan bidang tata guna tanah adalah tertib penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah & lingkungan hidup.

2. Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan
Berdasarkan Kep. Menteri Agraria/KBPN Nomor 5 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan dicanangkanlah suatu gerakan nasional dengan nama Gerakan Nasional Pemasangan Tanda Batas Pemilikan Tanah, yaitu gerakan kesadaran masyarakat untuk mensukseskan Catur Tertib Pertanahan.
Pemasangan tanda batas pemilikan tanah dilakukan oleh pemilik tanah yang berdampingan secara bersama-sama yang tergabung dalam wadah Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan (POKMASDARTIBNAH)
Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan:
a. Tujuan
Sebagai gerakan partisipasi masyarakat dalam rangka mempercepat Catur Tertib Pertanahan serta menigkatkan pelayanan kepada masyarakat.
b. Prinsip Dasar
1) Pemasangan tanda batas tanah dilakukan oleh pemilik tanah secara bersama-sama pemilik tanah yang berdampingan
2) Diciptakan adanya kelompok masyarakat yang dibentuk oleh masyarakat untuk mensukseskan kegiatan ini.
3) Sasaran
Masyarakat pemilik tanah di perkotaan dan pedesaan, melalui kelompok POKMASDARTIBNAH, dimana Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya bertindak selaku motivator maupun sebagai fasilitator dalam kegiatan tersebut.
3. Penatagunaan Tanah Pertanian
Tanpa adanya planning, maka pemakaian tanah-tanah pertanian terutama hanya akan berpedoman pada kepentingan masing-masing atau pada keuntungan insidentil yang mereka harapkan dari jenis-jenis tanaman tertentu. Dengan planning maka dapat dicapai keseimbangan yang baik antara luas tanah dengan jenis-jenis tanaman yang penting bagi rakyat dan negara.
Dalam planning diberikan jatah tanah menurut keperluan rakyat dan negara untuk jenis tanaman-tanaman yang penting bagi program sandang pangan, baik bagi bahan pangan maupun tanaman perdagangan.
Usaha kearah penatagunaan tanah secara teknis telah dilakukan tetapi belum secara menyeluruh, antara lain dalam bentuk perundang-undangan seperti:
UU No. 38 Prp Tahun 1960 mengenai luas minimum tanaman tebu yang harus ditetapkan oleh Menteri Agraria untuk dapat menjamin produksi tebu dan kesinambungan produktifitas pabrik gula yang harus diimbangi dengan penetapan maksimum luas tanah di daerah sekitar perkebunan tebu/pabrik gula yang bersangkutan, yang boleh ditanami tanaman perdagangan lain.
UU No. 20 Tahun 1964 yang mensyaratkan penetapan jumlah sewa yang layak, dalam arti sewa yang tidak merugikan kaum tani atas tanah-tanah yang diharuskan ditanam (tebu).
Rencana pembangunan Tahunan (Repeta) tahun 2004 di bidang pembangunan sektor pertanian terdapat beberapa kendala, yaitu:
a. Masalah teknis yaitu keterlambatan musim hujan
b. Tekanan dari komoditas pertanian dari luar negeri akibat dibukanya mekanisme impor dan makin menurunya tarif bea masuk
c. Terfragmentasinya lahan pertanian yang didorong dengan laju konversi lahan pertanian yang semakin meningkat.

4. Penertiban Pemakaian tanah secara liar.
Penertiban pemakaian tanah liar sudah sejak lama dilakukan yaitu:
Pada tahun 1948 dengan Ordonansi Onrechtmatige Ocupatie van Gronden
UU Darurat No. 8 Tahun 1954
UU Darurat No. 1 Tahun 1951 yang diganti dengan
UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin dari yang berhak atau kuasanya.
Kepada penguasa daerah diberi wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan penyelesaian atas tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan, yang digunakan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah yang ada di daerahnya antara lain dengan perintah pengosongan, dengan memperhatikan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.
Dalam penjelasan UU ini disebutkan mengenai banyaknya tanah-tanah di dalam maupun di luar kota yang dipakai orang-orang tanpa izin. Juga pemekaian tanah secara tidak teratur di perkotaan, lebih-lebih yang melanggar norma hukum dan tata tertib yang menghambat pembangunan yang direncanakan.

5. Penyediaan Dan Penggunaan Tanah Bagi Keperluan Perusahaan
Pembangunan yang terus meningkat jelas menuntut tersedianya tanah sebagai sarananya. Di satu pihak luas tanah yang tersedia sangat terbatas. Oleh karena itu apabila keperluan tanah bagi perusahaan-perusahaan terutama perusahaan yang menunjang perekonomian negara tidak diatur maka akhirnya tanah akan menjadi faktor penghambat dalam proses pembangunan.
Atas dasar pertimbangan di atas, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan tentang bagaimana penyediaan dan penggunaan tanah bagi keperluan perusahaan (diatur dalam PMDN No. 5 Tahun 1974):
a. Agar tercipta suasana dan keadaan yang serasi dan menguntungkan bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan.
b. Agar supaya pada satu pihak, kebutuhan para pengusaha dan kegiatan pembangunan yang memerlukan tanah dapat dicukupi dengan memuaskan.
Dengan demikian penyediaan tanah untuk kepentingan perusahaan tidak hanya didasarkan pada segi keuntungan ekonomis tetapi juga harus diperhatikan segi-segi yang lain, yaitu:
segi yuridis
pengaruhnya terhadap situasi sosial politik keamaan nasional
didasarkan pada asas-asas pembangunan nasional.

Dalam kebijaksanaan yang diatur dalam PMDN No. 5 Tahun 1974 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Keppres No. 83 Tahun 1989 ditentukan antara lain:
a. Penetapan lokasi perusahaan:
1) Sejauh mungkin dihindari pengurangan areal tanah pertanian yang subur.
2) Sedapat mungkin harus dihindari pengurangan areal pertanian yang subur.
3) Hendaknya dihindari pemindahan penduduk dari tempat kediamannya.
4) Harus memperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya pengotoran/pencemaran lingkungan.
Point 1) ini biasanya sering diabaikan yaitu perubahan fungsi dari tanah pertanian menjadi tanah kering untuk lokasi perusahaan. Perubahan yang demikian biasanya didasarkan pada pertimbangan:
Kepentingan nasional memang menghendaki perubahan tanah pertanian menjadi lokasi perusahaan.
Perubahan ini harus mendatangkan keuntungan ekonomis yang lebih tinggi
Perusahaan yang bersangkutan harus dapat menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin.
Sedapat mungkin digunakan tanah-tanah yang tidak atau kurang produktif.
Hendaknya dihindari pemindahan penduduk yang tanahnya masuk dalam lokasi proyek.
Harus memperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya pengotoran/pencemaran lingkungan.
b. Penetapan luas tanah yang diperlukan:
Ditentukan bahwa luas tanah yang diperlukan luasnya disesuaikan dengan kebutuhan yang nyata artinya kebutuhan yang benar-benar diperlukan untuk menyelenggarakan usahanya dan kemungkinan perluasan usahanya dikemudian hari.
Penetapan luas tanah yang diperlukan perusahaan harus dilakukan secara tepat dan cermat, hal ini untuk menghindari akibat-akibat yang tidak baik:
1) Luas tanah yang diberikan melebihi luas yang benar-benar diperlukan
Ini mengakibatkan ada sebagian tanah yang tidak dimanfaatkan/ditelantarkan dimana hal ini bertentangan dengan asas optimal dan fungsi sosial hak atas tanah.
2) Untuk mencegah usaha-usaha yang bersifat monopoli dan spekulatif.
Untuk mencegah hal tersebut maka dikeluarkanlah beberapa peraturan:
Surat Keputusan MDN No. 268 tahun 1982 yang menentukan bahwa perusahaan yang memperoleh tanah dari negara harus memanfaatkan/menggunakan tanah tersebut dalam waktu 10 tahun sejak keluarnya ijin pembebasan tanah.
Instruksi Mendagri No. 21 Tahun 1973 yang memerintahkan kepada Gubernur untuk melarang perusahaan baik perseorangan maupun badan hukum untuk memiliki dan menguasai tanah yang melampaui tanah yang melampaui batas kebutuhan usaha sesungguhnya.
c. Macam Hak atas tanah yang dapat diberikan:
1) Jika perusahaan itu merupakan usaha perseorangan dan pemiliknya WNI hak atas tanah yang diberikan ialah: hak milik, HGU, HGB, dan hak pakai.
2) Jika perusahaan itu berbentuk badan hukum hak atas tanah yang diberikan ialah: Hak Pengelolaan, HGU, HGB, dan hak pakai.

Khusus mengenai hak pengelolaan ini perusahaan yang diberi hak mempunyai wewenang:
merencanakan peruntukan dan penggunaan tanahnya.
1)Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya.
2)Menyerahkan bagian-bagian dari tanah kepada pihak ketiga yang memerlukan.
Misalnya PERUMNAS (Perusahaan Perumahan Nasional) dalam kegiatannya berupa:
3)Merencanakan segala kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pembangunan perumahan
4)Menyerahkan rumah beserta tanahnya kepada yang berhak

6. Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah
Berdasarkan ketentuan Pasal 13 PP No. 16 Tahun 2004 ditentukan mengenai penggunaan dan pemanfaatan tanah. Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam RTRW. Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung tidak boleh mengganggu fungsi alam, tidak mengubah bentang alam dan ekosistem alami.
Penggunaan tanah di kawasan budidaya tidak boleh ditelantarkan, harus dipelihara dan dicegah kerusakannya. Pemanfaatan tanah di kawasan budidaya tidak saling bertentangan, tidak saling mengganggu, dan memberikan peningkatan nilai tambah terhadap penggunan tanahnya. Ketentuan mengenai penggunaan dan pemanfaatan tanah ditetapkan melalui pedoman teknis penetagunaan tanah, yang menjadi syarat menggunakan dan memanfaatkan tanah.
Dalam hal penggunaan dan pemanfaatan tanah, pemegang hak atas tanah wajib menikuti persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Persyaratan ini antara lain pedoman teknis penatagunaan tanah, persyaratan mendirikan bangunan, persyaratan dalam analisis mengenai dampak lingkungan, persyaratan usaha, dan ketentuan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang-bbidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, sempadan waduk, dan atau sempadan sungai harus memperhatikan:
a. Kepentingan umum;
b. Keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan.
Apabila terjadi perubahan RTRW, maka penggunaan dan pemanfaatan tanah mengikuti RTRW yang terakhir.
Pemanfaatan tanah dapat ditingkatkan apabila tidak mengubah penggunaan tanahnya. Peningkatan pemanfaatan tanah harus memperhatikan hak atas tanahnya serta kepentingan masyarakat. Pemanfaatan tanah untuk kawasan lindung dapat ditingkatkan untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, dan ekowisata apabila menganggu fungsi kawasan.
Kegiatan dalam rangka pemanfaatan ruang di atas dan di bawah tanah yang tidak terkait dengan penguasaan tanah dapat dilaksanakan apabila tidak mengganggu penggunaan dan pemanfaatan tanah yang bersangkutan. Jika kegiatan tersebut menggangu pemanfaatan tanah harus mendapat persetujuan pemegang hak atas tanah.
Penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan RTRW disesuaikan melalui penyelenggaraan penatagunaan tanah.

7. Penggunaan Dan Penetapan Luas Tanah Untuk Tanaman-Tanaman Tertentu
Beberapa aturan yang berkaitan dengan penyediaan tanah untuk tanaman-tanaman tertentu ialah:
UU No. 38 Prp Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah bagi tanaman-tanaman tertentu.
Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI)
Hal-hal yang penting yang harus diperhatikan dalam pengadaan tanah ini:
a)Mengenai letak tanah
Ditentukan di desa-desa yang termasuk dalam wilayah kerja perusahaan yang memerlukan tanah
b)Mengenai luas tanah
Harus memperhatikan kepentingan perusahaan dan masyarakat serta kelangsungan kesuburan tanah
c)Pola tanam
Agar tanah yang diperlukan bagi tanaman tertentu ditentukan secara bergiliran.

Kemudian cara untuk memperoleh tanah dapat dilakukan dengan:
Perjanjian sewa tanah antara petani pemilik tanah atau kelompok tani dengan perusahaan yang memerlukan tanah.
Yang perlu diperhatikan dalam hal ini ialah besarnya penetapan uang sewa. Jumlah uang sewa minimal sama dengan hasil yang diperoleh apabila tanah itu dikerjakan sendiri oleh pemiliknya.
Perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
Yang perlu diperhatikan dalam hal ini ialah besarnya imbangan pembagian hasil antara pemilik dengan perusahaan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

LANDASAN HUKUM TATA GUNA TANAH

1.Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dimana dalam pasal tersebut terkandung prinsip-prinsip sebagai berikut:
Bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara.
Bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia harus menggunakan BARA + K tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Bahwa hubungan antara negara dengan BARA + K merupakan hubungan menguasai.

2.Sebagai pelaksana dari pasal 33 ayat (3) UUD 45 adalah Pasal 14 dan 15 UUPA
Pasal 14 menentukan agar pemerintah membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan BARA + K untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat politis, ekonomis, sosial dan keagamaan.
Dalam penjelasan umum poin 8 dinyatakan bahwa:
Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara di atas dalam bidang agraria perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukkan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk keperluan berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara: Rencana Umum (National Planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus (regional planning) dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat.
Dalam penjelasan pasal 14 dinyatakan bahwa:
Pasal ini mengatur soal perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang telah dikemukakan dalam penjelasan umum (II angka 8). Mengingat akan corak perekonomian Negara dikemudian hari dimana industri dan pertambangan akan mempunyai peranan yang penting, maka disamping perencanaan untuk pertanian perlu diperhatikan, pula keperluan untuk industri dan pertambangan (ayat 1 huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja bermaksud menyediakan tanah untuk pertanian, peternakan, perikanan, industri dan pertambangan, tetapi juga ditujukan untuk memajukannya. Pengesahan peraturan Pemerintah Daerah harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan sesuai dengan kebijaksanaan Pusat.

Pasal 15 menentukan suatu kewajiban kepada semua pihak yang menggunakan tanah baik Pemerintah, masyarakat maupun perseorangan untuk memelihara tanahnya.
Undang-undang yang diharapkan memberikan petunjuk lebih lanjut tentang pembuatan rencana umum penggunaan tanah sebagaimana dikehendaki pasal 14 UUPA ialah peraturan pemerintah

3.No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
4.UU No. 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
5.UU No. 38 Prp Tahun 1960 jo UU No. 20 Tahun 1964 tentang Penggunaan dan Penetapan luas tanah untuk tanaman-tanaman tertentu.
Mengenai penertiban/pemanfaatan:
6.UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang berhak atau kuasanya.
7.Instruksi Mendagri No. 2 Tahun 1982 tertanggal 30 Januari 1982
8.Keputusan Mendagri No. 268 Tahun 1982 tertanggal 17 Januari 1982
Mengenai Fatwa tata guna tanah diatur dalam Peraturan Mendagri No. 3 Tahun 1972 jo No. 6 Tahun 1986.
9.PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.

Menurut Mieke Komar Kantaatmadja, selain aspek-aspek tujuan penataan ruang, penatagunaan tanahpun harus mengacu pada kebijaksanaan dasar mengenai pertanahan yang terkandung dalam UUPA dan undang-undang lain yang berkaitan dengan penggunaan tanah. Dasar-dasar penatagunaan tanah itu adalah:
1. Kewenangan untuk mengatur persediaan, peruntukkan dan penggunaan tanah serta pemeliharaan tanah ada pada Negara;
2. Hak atas tanah memberikan wewenang kepeda pemegang hak untuk menggunakan tanah yang bersangkutan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu;
3. Kewenangan pemegang hak atas tanah untuk mempergunakan tanah tersebut dibatasi oleh ketentuan bahwa hak atas tanah berfungsi sosial;
4. perlunya perlindungan terhadap pihak ekonomi lemah dalam proses penatagunaan tanah;
5. penatagunaan tanah tidak dapat dipisahkan dari pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah;
6. penggunaan tanah disamping sebagai subsistem penatagunaan ruang juga merupakan subsistem dari system pembangunan;
7. Karena sifatnya multidimensi (dimensi fisik, ekonomi, soaial, politik, hankam) dan multisektor maka penatagunaan tanah dalam prakteknya harus diselenggarakan secara koordinatif;
8. penatagunaan tanah harus mampu menyediakan tanah bagi semua kegiatan pembangunan yang sifatnya dinamis, karena penatagunaan tanah bersifat dinamis dan sibernetik;
9. Penyelenggaraan penatagunaan tanah merupakan tugas pemerintah pusat yang pelaksanaannya di daerah berdasarkan dekonsentrasi atau medebewind.

Salah satu sasaran yang akan dicapai dari pelaksanaan tata guna tanah adalah terjadinya penatagunaan tanah yang terdapat di perkotaan dan pedesaan sehingga akan muncul suatu konsep penataan tanah yang baik serta serasi dari aspek lingkungan. Konsep yang dimaksud untuk menata penggunaan tanah di perkotaan dan pedesaan ialah Konsolidasi Tanah.

MODEL PERENCANAAN TATA GUNA TANAH

Sebelum dikeluarkannya PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, masalah model perencanaan penggunaan tanah masih merupakan masalah yang belum tuntas artinya masalahnya masih menjadi pembicaraan diantara para perencana pembangunan di Indonesia. Hal ini disebabkan belum ditemukan model perencanaan penggunaan tanah yang dapat dijadikan pedoman oleh para perencana pembangunan.

Adapun faktor-faktornya adalah:
1.UUPA sendiri hanya mengatur secara garis besarnya saja.
Hal ini bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA (UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria). Pasal 14 menentukan agar Pemerintah membuat “rencana umum” penggunaan tanah untuk berbagai macam kepentingan masyarakat dan negara. Sedang Pasal 15 UUPA menentukan agar penggunaan tanah tidak menimbulkan kerusakan bagi lingkungan hidup termasuk terpeliharanya tingkat kesuburan tanah.
2.Adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan dari rencana penggunaan tanah.
3.Selama ini pemerintah Indonesia menggunakan model perencanaan penataan wilayah termasuk penggunaan tanah yang diwarisi oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Tetapi setelah keluar PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah maka sudah ada aturan yang bisa dipergunakan sebagai acuan dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan penatagunaan tanah di Indonesia.
Ada beberapa Model Perencanaan Penggunaan Tanah yaitu:

1.Model Zoning
Menurut model ini, tanah di suatu wilayah/daerah tertentu dibagi dalam beberapa zone penggunaan atau kepentingan-kepentingan/kegiatan-kegiatan/usaha-usaha yang dilakukan.
Contoh model zoning yang dikembangkan oleh Ernest W Borgess untuk kota Chicago, dimana wilayah dibagi menjadi:
a.Wilayah “the loop” yang merupakan wilayah perdagangan yang sering disebut “downtown”.
b.“The zone in transitions” merupakan wilayah yang disiapkan bagi perkembangan industri dan perdagangan.
c.“The zone of working men’s homes” merupakan wilayah pemukiman bagi pekerja-pekerja kelas bawah.
d.“The residential zone” merupakan wilayah pemukiman bagi orang-orang kaya
e.“The commuters zone” merupakan wilayah diluar batas kota.

Kebaikan dari model zoning adalah:
Tugas perencana penggunaan tanah cukup sederhana.
Adanya jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah warga masyarakat.

Kelemahan-kelemahannya adalah:
Tidak adanya ruang atas tanah yang dapat menampung kegiatan-kegiatan yang dipandang merugikan atau mengganggu apabila diletekkan pada zone-zone tertentu.
Akan terjadi perkembangan wilayah yang tidak merata.
Pada suatu saat, suatu zone akan mengalami tingkat kepadatan yang tinggi.

2.Model Terbuka
Istilah terbuka mempunyai arti bahwa suatu ruang atas tanah dalam satu wilayah tertentu tidak terbagi-bagi dalam zone-zone penggunaan sebagaimana dalam model zoning. Model terbuka menitikberatkan pada usaha-usaha untuk mencari lokasi yang sesuai bagi suatu kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah atau swasta. Untuk memperoleh lokasi yang sesuai, faktor-faktor tertentu harus diperhatikan antara lain:
a.Data kemampuan fisik tanah
Atas data kemampuan fisik tanah dibuatlah pola penggunaan tanah. Pola penggunaan tanah perkotaan dibuatlah jaringan jalan dengan tetap memperhatikan asas ATLAS. Sedangkan pola penggunaan tanah untuk pedesaan dibuat atas dasar tinggi dan tingkat kemiringan tanah. Atas dasar ini maka suatu wilayah pedesaan dibedakan menjadi beberapa wilayah penggunaan utama yang disebut wilayah tanah usaha.
Wilayah tanah usaha dibedakan menjadi:
Wilayah tanah usaha terbatas.
Ketinggian <> 1000 m
Perbedaan ketinggian tanah ini akan membedakan pula perbedaan pola penggunaan tanah

b.Keadaan sosial ekonomi masyarakat
Meliputi: kepadatan penduduk, kegiatan yang dilakukan penduduk & mata pencaharian, rata-rata pendapatan perkapita, adat istiadat dll. Data ini penting untuk mencegah keresahan-keresahan masyarakat sebagai akibat adanya kegiatan pembangunan.
Keadaan lingkungan hidup.
Untuk mengetahui pengaruh pembangunan terhadap lingkungan hidup dilakukan dengan ANDAL (analisa dampak lingkungan)
c.Data mengenai penguasaan tanah yang ada di wilayah tersebut.

Prinsip-prinsip yang dipergunakan dalam model terbuka:
a.Bahwa perencanaan penggunaan tanah tidak menggariskan kegiatan yang harus diletakkan, tetapi meletakkan kegiatan yang telah digariskan.
b.Tersedianya peta penggunaan tanah bukan merupakan tujuan tetapi berfungsi sebagai alat atau sarana untuk mecapai tujuan pembangunan.
c.Bahwa tanah itu sendiri tidak dapat memberikan suatu bagi manusia, tetapi kegiatan yang ada di atasnyalah yang memberikan manfaat dan kemakmuran.

Kebaikan dari model terbuka:
a.Semua kegiatan pembangunan baik pemerintah maupun swasta dilaksanakan dan tertampung, tanpa ada kekawatiran akan terjadi konflik dalam penggunaan tanah.
b.Tanah dapat digunakan sesuai dengan asas-asas penggunaan tanah.

Kelemahan model terbuka adalah kurangnya jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah warga masyarakat. Hak atas tanah warga masyarakat kurang mendapatkan jaminan hukum. Untuk mengatasi ini maka hendaknya proses pembebasan tanah dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

3.Land Consolidation
Dikenal pula adanya teknik konsolidasi tanah (land consolidation) yaitu teknik penataan kembali lokasi dan batas-batas tanah serta sarana dan prasarana (pelurusan jalan, sungai, saluran pembagian/pembuangan air) sedemikian rupa, sehingga pengkaplingan menjadi berbentuk segi empat panjang dan setiap persil dapat dicapai secara efisien oleh penggarap atau saluran air.
Penatagunaan tanah juga mencakup arti pemeliharaan. Tanah itu harus dipelihara baik-baik menurut cara yang lazim dikerjakan di daerah yang bersangkutan sesuai dengan petunjuk dari jawatan-jawatan yang bersangkutan agar bertambah kesuburan serta dicegah kerusakannya.
Dalam dictum peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah dinyatakan bahwa tanah sebagai kekayaan bangsa Indonesia harus dimanfaatnkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu perlu dilakukan konsolidasi tanah sebagai upaya untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penggunaan tanah serta menyelaraskan kepentingan induvidu dengan fungsi sosial tanah dalam rangka pelaksanaan pembangunan.

Konsolidasi tanah ialah kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Bertitik tolak dari definisi tersebut di atas maka ada beberapa elemen dari konsolidasi tanah, yaitu:
a. Konsolidasi tanah merupakan kebijakan pertanahan;
b. Konsolidasi tanah berisikan penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan usaha pengadaan tanah;
c. Konsolidasi tanah bertujuan untuk kepentingan pembangunan, meningkatkan kualitas lingkungan, pemeliharaan sumber daya alam;
d. Konsolidasi tanah harus dilakukan dengan melibatkan pastisipasi aktif masyarakat.
Tujuan Konsolidasi tanah ialah untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas penggunaan tanah. Sedangkan sasaran yang akan dicapai ialah terwujudnya suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur.

Sedangkan pelaksanaan konsolidasi tanah diatur lebih lanjut dalam SE KBPN No. 410-4245/1991 tentang Petunjuk Pelaksnaan Konsolidasi Tanah. Dalam pont 2 SE ini dinyatakan bahwa Peningkatan yang demikian itu mengarah kepada tercapainya suatu tatanan penatagunaan dan penguasaan tanah yang tertib dan teratur. Sasaran konsolidasi tanah terutama ditujukan pada wilayah sebagai berikut:
a. Wilayah perkotaan;
1) Wilayah pemukiman kumuh;
2) Wilayah yang tumbuh pesat secara alami;
3) Wilayah pemukiman yang mulai tumbuh;
4) Wilayah yang direncanakan menjadi pemukiman yang baru;
5) Wilayah yang relative kosong di bagian pinggiran kota yang diperkirakan akan berkembang sebagai daerah pemukiman
b. Wilayah pedesaan
1) Wilayah yang potensial dapat memperoleh pengairan tetapi belum tersedia jaringan irigasi;
2) Wilayah yang jaringan irigasinya telah tersedia tetapi pemanfaatannya belum merata;
3) Wilayah yang berpengairan cukup baik maupun masih perlu ditunjang oleh pangadaan jaringan jalan yang memadai.

Pada point 3 SE KBPN No. 410-4245/1991 dinyatakan bahwa konsolidasi tanah meliputi kegiatan sebagai berikut:
a. Konsolidasi tanah perkotaan
1) Pemilihan lokasi;
2) Penyuluhan;
3) Penjajakan kesepakatan;
4) Penetapan lokasi konsolidasi tanah dengan surat Kep. Bupati/walikotamadya;
5) Pengajuan daftar usulan rencana kegiatan konsolidasi tanah;
6) Identifikasi subjek dan objek;
7) Pemetaan dan pengukuran keliling;
8) Pengukuran dan pemetaan rincian;
9) Pengukuran topografi dan pemetaan penggunaan tanah;
10) Pembuatan blok plan/pradisain tata ruang;
11) Pembuatan desain tata ruang;
12) Musyawarah tentang rencana penetapan kapling baru;
13) Pelepasan hak atas tanah oleh para peserta;
14) Penegasan tanah sebagai objek konsolidasi tanah;
15) Staking out/relokasi;
16) Konstruksi/pembentukan badab jalan dll;
17) Redistribusi tanah/penerbitan sk pemberian hak;
18) Sertifikat;
b. Konsolidasi tanah pedesaan
1) Pemilihan lokasi;
2) Penyuluhan;
3) Penjajakan kesepakatan;
4) Penetapan lokasi konsolidasi tanah dengan surat Kep. Bupati/walikotamadya;
5) Identifikasi subjek dan objek;
6) Pengajuan daftar usulan rencana kegiatan konsolidasi tanah;
7) Seleksi calon penerima hak
8) Pemetaan dan pengukuran kapling;
9) Pengukuran dan pemetaan rincian;
10) Pengukuran topografi dan pemetaan penggunaan tanah;
11) Pembuatan blok plan/pradisain tata ruang;
12) Pembuatan desain tata ruang;
13) Musyawarah tentang rencana penetapan kapling baru;
14) Pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah;
15) Penegasan tanah sebagai objek konsolidasi tanah;
16) Staking out/relokasi;
17) Konstruksi/pembentukan prasarana umum dll;
18) Redistribusi tanah/penerbitan sk pemberian hak;
19) Sertifikat;
Kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan konsolidasi tanah diarahkan pada tertib penggunaan tanah tetapi juga diarahkan untuk melakukan penataan kembali bidang-bidang tanah tertentu.

ASAS-ASAS TATA GUNA TANAH

Perencanaan tata agraria harus didasarkan pada tiga prinsip:
1.Prinsip penggunaan aneka (principle of multiple use)
Prinsip ini menghendaki agar rencana tata agraria dapat memenuhi beberapa kepentingan sekaligus pada satu kesatuan tanah tertentu.

2.Prinsip penggunaan maksimum (principle of maximum production)
Prinsip ini dimaksudkan agar penggunaan suatu bidang agraria diarahkan untuk memperoleh hasil fisik yang setinggi-tingginya untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang mendesak.
3.Prinsip penggunaan optimum (principle of optimum use)
Prinsip ini menghendaki agar penggunaan suatu bidang agraria dapat memberikan keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya kepada orang yang menggunakan/mengusahakan tanpa merusak sumber alam itu sendiri.

Dalam literatur Hukum Agraria biasanya dibedakan 2 kelompok asas tata guna tanah yang disebabkan oleh karena adanya perbedaan titik berat penggunaan tanah diantara keduanya dimana penggunaan tanah di daerah pedesaan lebih dititikberatkan pada usaha-usaha pertanian. Sedangkan penggunaan tanah di daerah perkotaan dititikberatkan pada kegiatan non pertanian serta perbedaan ciri-ciri kehidupan masyarakat pedesaan dengan perkotaan. Berdasarkan penjelasan Pasal 13 ayat (5) PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, bahwa pedoman teknis penggunaan tanah bertujuan untuk menciptakan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lestari, optimal, serasi dan seimbang (LOSS) diwilayah pedesaan serta aman, tertib, lancar dan sehat (ATLAS) di wilayah perkotaan yang menjadi persyaratan penyelesaian administrasi pertanahan. Secara rinci asas tata guna tanah itu dijelaskan sebagai berikut:

Asas tata guna tanah untuk daerah pedesaan (rural land use planning). Biasanya disingkat dengan LOSS.
1.Lestari
Tanah harus dimanfaatkan dan digunakan dalam jangka waktu yang lama yang akan berdampak pada:
a) Akan terjadi penghematan dalam penggunaan tanah.
b) Agar supaya generasi yang sekarang dapat memenuhi kewajibannya untuk mewarislan sumber daya alam kepada generasi yang akan datang.
Suatu ungkapan dari seorang raja Afrika bahwa: the land belongs to agreat family of which many member are dead, some are living and the large number still to the born. (jadi tanah bukan milik masyarakat sekarang saja, tetapi tanah milik dari masyarakat dulu masyarakat sekarang dan masyarakat yang akan datang).
2.Optimal
Pemanfaatan tanah harus mendatangkan hasil atau keuntungan ekonomis yang setinggi-tingginya.
3.Serasi dan seimbang
Suatu ruang atas tanah harus dapat menampung berbagai macam kepentingan pihak-pihak, sehingga dapat dihindari adanya pertentangan atau konflik dalam penggunaan tanah.

Asas tata guna tanah untuk daerah perkotaan (urban land use planning)
1.Aman
Maksudnya aman dari: bahaya kebakaran, dari tindak kejahatan, bahaya banjir, bahaya kecelakaan lalu lintas dan aman dari ketunakaryaan.
2.Tertib
Maksudnya tertib dalam bidang pelayanan, dalam penataan wilayah perkotaan, dalam lalu lintas, dan dalam hukum.
3.Lancar
Maksudnya lancar dalam pelayanan, lancar berlalu lintas, dan lancar dalam komunikasi.
4.Sehat
Maksudnya sehat dari segi jasmani dan sehat dari segi rohani.

Sedangkan asas penatagunaan tanah menurut PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah ialah keterpaduan, berdayaguna dan berhasilguna, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum (Pasal 2).

TUJUAN TATA GUNA TANAH

Tujuan dari tata guna tanah harus diarahkan untuk dapat mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut:
1.Mengusahakan agar tidak terjadi penggunaan tanah yang salah tempat.
Maksudnya setiap kegiatan yang memerlukan tanah harus diperhatikan mengenai data kemampuan fisik tanah untuk mengetahui sesuai tidaknya kemampuan tanah tersebut dengan kegiatan yang akan dilaksanakan.

2.Mengusahakan agar tidak terjadi penggunaan tanah yang salah urus.
Maksudnya setiap harus melaksanakan kewajibannya memelihara tanah yang dikuasainya. Hal ini untuk mencegah menurunnya kualitas sumber daya tanah yang akirnya akan timbul kerusakan tanah.
3.Mengusahakan adanya penggendalian terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat akan tanah.
Pengendalian ini dilakukan untuk menghindari konflik kepentingan akibat penggunaan tanah.
Mengusahakan agar terdapat jaminan kepastian hukum bagi hak-hak atas tanah warga masyarakat.
4.Jaminan kepatian hukum penting untuk melindungi warga masyarakat yang tanahnya diambil untuk kepentingan proyek pembangunan.

Berdasarkan ketentuan PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah tujuan dari penatagunaan tanah ialah pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. Secara rinci penatagunaan tanah bertujuan untuk:
a. mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan RTRW;
b. mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam RTRW;
c. mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah;
d. menjamin kepastian hukum untuk memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan RTRW yang telah ditetapkan.

Kamis, 14 Agustus 2008

PENGERTIAN TATA GUNA TANAH

Istilah tata guna tanah biasa juga dikenal dengan istilah asingnya sebagai “Land Use Planning”. Apabila istilah tata guna tanah dikaitkan dengan obyek hukum agraria nasional (UUPA), maka penggunaan istilah tersebut kurang tepat. Hal ini dikarenakan obyek hukum agraria meliputi: bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sedangkan tata guna tanah hanya berobyek tanah yang merupakan salah satu bagian dari obyek hukum agraria. Maka istilah yang tepat adalah “Tata Guna Agraria” atau “Agrarian Use Planning” yang meliputi:

1.Tata Guna Tanah (land use planning)
2.Tata Guna Air (water use palnning)
3.Tata Guna Ruang Angkasa (air use planning)

Dalam ketentuan menimbang huruf a TAP MPR No. IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam ditegaskan bahwa bahwa sumber daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan Nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Ada beberapa definisi tata guna tanah yang dapat dijadikan acuan:
1.Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan untuk mengatur peruntukan, penggunaan dan persediaan tanah secara berencana dan teratur sehingga diperoleh manfaat yang lestari, optimal, seimbang dan serasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan negara.

2.Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan penataan, penyediaan, peruntukan dan penggunaan tanah secara berencana dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional.
Tata guna tanah adalah usaha untuk menata proyek-proyek pembangunan, baik yang diprakarsai pemerintah maupun yang tumbuh dari prakarsa dan swadaya masyarakat sesuai dengan daftar sekala prioritas, sehingga di satu pihak dapat tercapai tertib penggunaan tanah, sedangkan di pihak lain tetap dihormati peraturan perundangan yang berlaku.

Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil unsur-unsur yang ada, yaitu:
a. Adanya serangkaian kegiatan.
Yang meliputi pengumpulan data lapangan yang menyangkut tentang penggunaan, penguasaan, dan kemampuan fisik tanah, pembuatan rencana/pola penggunaan tanah untuk kepentingan pembangunan dan pengawasan serta keterpaduan di dalam pelaksanaanya.
b. Penggunaan tanah harus dilakukan secara berencana.
Ini mengandung konsekuensi bahwa penggunaan tanah harus dilakukan atas dasar prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip tersebut ialah lestari, optimal, serasi dan seimbang.
c. Adanya tujuan yang hendak dicapai.
Ialah untuk tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat menuju masyarakat yang adil dan makmur.

3.Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil (Pasal 1 PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah). Tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia. Pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya. Sedangkan pengertian penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang per orang, kelompok orang atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1960 pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air. Sedangkan tanah menurut PP 16 Tahun 2004 ialah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia.

Penatagunaan tanah merupakan bagian dari sub sistem penataan ruang wilayah yang dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah. Rencana tata ruang wilayah ialah hasil perencanaan tata ruang berdasarkan aspek administrative dan atau aspek fungsional yang telah ditetapkan.